• Sabtu, 18 Oktober 2025

Pesantren dan Krisis Pemahaman Epistemologis Media Modern, Oleh: Koderi

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 10.39 WIB
75

Koderi, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sejak abad ke-18, pesantren telah menjadi salah satu lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Pesantren lahir dari rahim masyarakat, tumbuh dalam semangat dakwah, dan berkembang menjadi pusat pembentukan moral serta intelektual umat Islam Indonesia.

Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga ruang sosialisasi nilai-nilai seperti keikhlasan, kemandirian, dan tanggung jawab sosial.

Pesantren dalam sejarahnya, memadukan dua dimensi pendidikan: keilmuan (tafaqquh fi al-din) dan pembentukan akhlak (tazkiyatun nafs).

Sistem kiai-santri bukan relasi kekuasaan feodal, melainkan relasi spiritual yang berakar pada nilai-nilai Islam klasik. Santri belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi untuk menjadi manusia yang beradab (to be).

Oleh karena itu, pesantren tumbuh menjadi ekosistem ilmu yang berakar dalam budaya lokal sekaligus berjiwa universal.

Kasus Tayangan Trans7 dan Kesalahan Epistemologis

Tayangan Trans7 dalam segmen “Expose and Sensor” yang menggambarkan kehidupan pesantren dengan narasi seperti “Santri minum susu harus jongkok” telah memicu reaksi luas dari masyarakat pesantren, akademisi, dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama.

Tayangan itu dinilai tidak hanya merendahkan, tetapi juga memperlihatkan kekeliruan epistemologis- yakni kesalahan dalam memahami cara pengetahuan dan makna sosial di pesantren dibangun.

Program tersebut tampak melihat relasi kiai–santri melalui kacamata teori “Relasi kuasa-feodal” semata, sebagaimana teori sosial modern memahami "Struktur dominasi".

Padahal, teori relasi di pesantren adalah berakar pada nilai spiritual dan moral yang khas dalam tradisi Islam. Ketaatan santri kepada kiai bukan bentuk penindasan, melainkan ekspresi pencarian barokah, adab, dan khidmah.

Epistemologi Pesantren: Barokah, Adab, dan Khidmah

Tiga pilar nilai utama ini menjadi fondasi epistemologi pesantren, yaitu cara pesantren membangun dan menurunkan ilmu dari guru ke murid.

1.Barokah (البركة)

Ilmu tidak hanya dipahami secara rasional, tetapi juga spiritual. Keberkahan ilmu diyakini muncul dari adab dan keikhlasan dalam menuntutnya.

2.Adab (الأدب)

Belajar di pesantren bukan sekadar menguasai teks, tetapi juga membentuk karakter. Santri menghormati kiai bukan karena takut, tetapi karena memahami adab sebagai pintu ilmu. Santri memiliki filosofi epistemologi  bahwa "Orang menuntut ilmu tanpa adab bagaikan orang mengambil air tanpa timba".

3.Khidmah (الخدمة)

Pengabdian kepada guru atau lembaga adalah proses pendidikan jiwa. Melayani guru, membantu sesama santri, dan hidup sederhana adalah latihan spiritual yang membentuk kepribadian.

Melalui ketiga pilar nilai ini, pesantren membangun sistem pendidikan yang unik-holistik, berbasis nilai, dan berorientasi akhirat sekaligus kemanusiaan.

Kritik terhadap Reduksi Media

Kesalahan tayangan Trans7 mencerminkan kecenderungan media modern yang melihat pesantren dari luar, bukan dari dalam makna budayanya.

Alih-alih menampilkan pesantren secara utuh, media sering terjebak dalam gaya naratif sensasional: mencari yang aneh, eksotis, dan berbeda. Padahal, pesantren adalah lembaga pengetahuan, bukan tontonan eksotik.

Kegagalan memahami epistemologi pesantren berujung pada kesalahan etis- menyinggung kehormatan komunitas yang selama berabad-abad menjadi benteng moral bangsa.

Oleh Karena itu, wajar jika masyarakat pesantren, alumni, dan akademisi menuntut klarifikasi dan penghormatan atas nilai-nilai yang mereka junjung.

Penutup

Pesantren harus dipahami bukan sekadar sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi sebagai "Ruang epistemik-tempat lahirnya ilmu yang disertai etika dan spiritualitas".

Ketika media menilai pesantren dengan logika kuasa semata (relasi feodal),  maka hilanglah makna luhur yang menjadi ruh lembaga ini.

Relasi kiai-santri bukan relasi feodal-dominasi, melainkan relasi nilai: barokah, adab, dan khidmah. Ketiga pilar nilai ini yang membentuk manusia Indonesia yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa sosial. (*)