Asa Koperasi Merah Putih dari Titik Nol

Asa Koperasi Merah Putih dari Titik Nol. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Lampung Barat - Di sebuah rumah sederhana di Pekon Kota Besi, Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat, secarik kertas rencana kerja koperasi terhampar di atas meja kayu yang mulai usang.
Di sudut ruangan, Pungki, Sekretaris Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) Pekon Kota Besi, duduk bersama dua rekannya, mendiskusikan masa depan yang masih dalam tanda tanya.
Mereka tidak memiliki kantor, bahkan belum punya rak penyimpanan arsip. Modal pun hanya bersumber dari kantong-kantong warga yang kepercayaannya masih belum bulat. Namun dari keterbatasan itu, ada satu hal yang tak mereka lepaskan: harapan.
"Bukan soal kita belum punya gedung atau banyak modal. Yang penting kami mulai dulu. Kalau semua menunggu sempurna, kapan bergeraknya?” ujar Pungki, dengan mata yang menyiratkan keteguhan, pada Kamis (18/9/2025).
Koperasi dari Rakyat, Untuk Rakyat
Koperasi Merah Putih (KMP) bukan sekadar proyek kelembagaan. Ia lahir dari semangat membangun ekonomi berbasis komunitas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Namun idealisme itu kini sedang diuji. Di Provinsi Lampung, mayoritas KMP masih berkutat di fase perencanaan dan pemetaan potensi usaha.
Masalah utama: modal dan kepercayaan publik. Seperti KDMP Pekon Kota Besi yang baru memiliki tujuh pengurus dan tiga dewan pengawas.
Mereka telah mengikuti pelatihan daring, mengantongi AD/ART, hingga legalitas Kemenkumham. Namun, jalan panjang membentang di depan.
Rencana usaha seperti sembako murah, gas LPG 3 kg, pupuk subsidi, hingga layanan keuangan belum bisa dilaksanakan. Semuanya terganjal satu hal: uang permulaan yang belum terkumpul.
"Kalau hanya mengandalkan iuran pokok dan wajib dari anggota, ya tidak cukup. Tapi kami belum berani pinjam sebelum benar-benar siap,” kata Pungki, jujur.
Kepercayaan yang Masih Retak
Di rumah yang lain, Pendi Wijaya, Ketua KDMP Pekon Kerang, juga menjalankan koperasi dari ruang tamu milik anggota. Meski sederhana, tekadnya besar: menjadikan koperasi sebagai motor penggerak ekonomi desa.
"Potensinya besar, tapi kita harus tahu benar kebutuhan masyarakat. Makanya kami sedang memetakan, dan UMKM menjadi prioritas,” ujarnya.
Namun, seperti Pungki, ia juga menghadapi tantangan yang sama: kurangnya dukungan aparatur pekon dan rendahnya minat warga.
"Kalau lurah atau peratin ikut bergerak, warga pasti lebih percaya,” ungkap Pungki. Kalimat itu seperti ringkasan dari banyak harapan yang belum bersuara.
Cahaya dari Kota Metro
Di tengah jalan terjal itu, secercah cahaya datang dari Kota Metro. Dari 22 Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP) yang dibentuk, dua sudah mulai bergerak.
Meski kantor masih pinjam pakai, dan modal bersumber dari iuran kecil, semangat tumbuh dari keterbatasan.
KKMP Kelurahan Banjarsari misalnya, kini sudah melayani simpan pinjam, pembayaran PLN, hingga penjualan LPG dan sembako. Adi Sucipto, ketuanya, mengatakan koperasi miliknya sudah mulai dilirik warga karena manfaatnya nyata.
"Yang paling ramai itu pembayaran PLN dan beli gas. Warga datang karena mereka merasa dekat dan dilayani dengan baik,” katanya.
Sementara itu, KKMP Yosodadi bahkan telah menjalin kerja sama dengan BRI untuk membuka AgenBRILink.
Sugianto, ketuanya, menyebut koperasinya kini memiliki lebih dari 300 anggota aktif. Mereka berharap bisa merambah ke sektor agribisnis dan pengolahan hasil tani.
Janji Pemerintah dan Asa yang Menyala
Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, tak menutup mata. Ia telah menyiapkan Satgas khusus yang akan turun langsung ke 135 pekon, memberikan pendampingan teknis dan edukasi operasional koperasi.
"Kalau pengurus diberi pemahaman soal manajemen usaha, permodalan, dan regulasi, mereka bisa jalankan koperasi dengan mandiri. Dan koperasi akan jadi tulang punggung ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Wakil Walikota Metro, Rafieq Adi Pradana, juga menegaskan hal serupa: bahwa KMP bukan hanya alat usaha, tapi wadah pemberdayaan yang harus tumbuh dari bawah, dengan dukungan atas yang terstruktur dan konsisten.
Ketika Koperasi Menjadi Cerita tentang Kita
Di tengah hingar bingar pembangunan yang kerap terpusat di kota-kota besar, kisah para pejuang koperasi di desa dan kelurahan ini seperti riak kecil yang pelan-pelan menggerus batu. Mereka tidak memulai dari kemewahan, tapi dari kesadaran bahwa ekonomi harus ditopang bersama.
Dari ruang tamu yang dijadikan kantor, dari iuran sepuluh ribu yang dikumpulkan perlahan, dari pelatihan daring yang diikuti di sela pekerjaan, koperasi ini tumbuh. Belum besar, belum stabil. Tapi tumbuh.
Karena pada akhirnya, koperasi bukan sekadar lembaga. Ia adalah wajah dari gotong royong yang nyaris terlupakan.
Dan selama masih ada satu dua orang seperti Pungki, Pendi, Adi dan Sugianto yang terus menyalakan lilin di tengah gelap, harapan untuk ekonomi rakyat tak akan pernah padam. (*)
Berita Lainnya
-
Jalan Tanjakan Way Robok Putus Total, Akses Pengendara dan Pejalan Kaki Lumpuh
Jumat, 19 September 2025 -
Terancam Amblas, Akses Lalu Lintas Jalan Way Robok Ditutup Total
Jumat, 19 September 2025 -
Jalan di Tanjakan Wayrobok Lampung Barat Amblas, Pengendara Diimbau Hati-hati
Jumat, 19 September 2025 -
Parosil Desak Kementan Dukung Hilirisasi Kopi Lampung Barat
Jumat, 19 September 2025