• Rabu, 17 September 2025

Media Online Benteng Informasi di Era Gempuran Medsos

Rabu, 17 September 2025 - 07.24 WIB
14

Ahli Pers Dewan Pers dari Lampung, Oyos Saroso HN; Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung, Wirahadikusumah; Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Lampung, Donny Irawan dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Di tengah derasnya arus informasi di media sosial (Medsos) yang kerap tidak terverifikasi, kehadiran media online tetap menjadi benteng utama dalam menjaga akurasi dan kredibilitas berita.

Media online tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penjaga kualitas agar masyarakat mendapatkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ahli Pers Dewan Pers dari Lampung, Oyos Saroso HN, mengingatkan bahwa media online memiliki perbedaan mendasar dengan media sosial yang kerap dianggap sama oleh masyarakat.

Menurut Oyos, media online masuk dalam kategori pers karena memiliki standar jurnalistik yang diatur Dewan Pers, termasuk keberadaan redaksi dan wartawan yang digaji. Sedangkan media sosial, meski mampu menyebarkan informasi, tidak bisa dikategorikan sebagai pers.

“Media online jelas ranah pers karena ada standar Dewan Pers yang harus dipenuhi. Ada redaksi, ada wartawan yang digaji. Sementara media sosial tidak bisa masuk kategori pers,” kata Oyos, Selasa (16/9/2025).

Oyos menjelaskan, di lapangan banyak juga media online yang tidak memenuhi standar Dewan Pers, sehingga hanya sekadar rajin posting tanpa menjalankan prinsip jurnalistik yang benar. Hal ini membuat peranan media sosial semakin mendominasi penyebaran informasi.

“Dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, peran media massa, termasuk media online, mulai digeser oleh media sosial. Bahkan di era pemerintahan Jokowi, penghargaan justru lebih banyak diberikan kepada influencer ketimbang media pers,” katanya.

Peralihan juga terjadi pada sektor iklan. Jika sebelumnya perusahaan banyak memasang iklan di media massa, kini cenderung beralih ke media sosial karena dinilai lebih praktis.

“Kenapa media online kalah dengan media sosial? Karena media sosial itu gak ribet. Setiap orang bisa bikin akun dan menyebarkan informasi. Bedanya, media online bisa terverifikasi, sedangkan media sosial tidak,” tegas Oyos.

Di sisi lain, lanjut Oyos,  fakta di lapangan menunjukkan bahwa informasi di media sosial kerap lebih cepat beredar dibanding media online. Kondisi ini harus dijawab dengan langkah nyata dari insan pers.

“Tidak ada celah lain, media online harus bisa menyaingi kecepatan media sosial. Media online juga harus bersatu untuk mendesak pemerintah agar tidak tersingkir. Kalau media sosial terus diberi tempat lebih, ini berbahaya,” ungkapnya.

Oyos menilai, dominasi influencer dan media sosial berpotensi menggerus eksistensi media online, karena informasi yang disampaikan tidak melalui verifikasi dan cenderung berpihak.

“Kalau ini diteruskan, masyarakat akan dibanjiri informasi yang tidak objektif dari media sosial. Padahal fungsi pers adalah menyajikan informasi yang berimbang dan bisa dipertanggungjawabkan,” terangnya.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung, Wirahadikusumah, menegaskan bahwa media online memiliki peran vital sebagai benteng informasi di tengah derasnya arus informasi dari media sosial.

Wira mengatakan, media massa tidak boleh sekadar mengikuti arus informasi, melainkan harus menjadi clearing house untuk memastikan kebenaran sebuah peristiwa yang tersebar di masyarakat luas.

"Informasi itu bisa benar atau salah, tetapi berita tidak boleh salah. Ada proses kerja jurnalistik yang dilakukan, mulai dari cek dan ricek, triple check, hingga wawancara sebelum akhirnya diolah menjadi berita," kata Wira, Selasa (16/9/2025).

Ia menekankan pentingnya membedakan antara informasi dan berita. Informasi belum tentu benar, sementara berita harus dipastikan kebenarannya karena ada proses jurnalistik di baliknya. Oleh karena itu, lanjut Wira, wartawan dituntut untuk melakukan konfirmasi kepada narasumber yang terpercaya agar masyarakat tidak disuguhi dengan informasi yang menyesatkan.

"Di sinilah letak kepercayaan publik. Media massa harus memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi dibanding sekadar media online non jurnalistik atau media sosial," jelasnya.

Wira juga menyoroti perubahan pola distribusi konten jurnalistik di era digital. Menurutnya, tiga elemen dasar jurnalistik yakni produksi, penyuntingan, dan publikasi, masih dikuasai oleh perusahaan pers dan terikat dengan kode etik. Namun, dalam proses distribusi saat ini, tidak lagi sepenuhnya dikendalikan media, melainkan dikuasai oleh platform digital dengan algoritma.

"Elemen distribusi ini sekarang dikuasai oleh platform digital. Maka harus ada titik temu antara perusahaan pers, platform digital, dan Dewan Pers. Harus ada perubahan agar platform digital bisa memilah mana distribusi yang baik untuk masyarakat," saran Wira.

Ia mengakui, media sosial lebih unggul dalam hal kecepatan karena masyarakat bisa langsung mendokumentasikan dan membagikan peristiwa. Namun, media online tetap memiliki keunggulan dalam hal verifikasi dan kedalaman informasi.

"Media online harus bisa berkolaborasi dengan media sosial, bukan memusuhinya. Sekarang ukuran besar kecilnya media online tidak lagi dilihat dari kantor redaksinya, tetapi dari banyaknya pengikut di media sosial," papar Wira.

Wira mengingatkan bahwa penting bagi media online untuk beradaptasi dengan pola distribusi konten melalui media sosial tanpa mengabaikan esensi kerja jurnalistik yang berbasis fakta.

"Media online penting untuk memanfaatkan media sosial. Jangan menjadikan media sosial sebagai musuh, tapi dijadikan kolaborasi. Media sosial katanya dulu kompetitor media online, sekarang yang terjadi harus berdansa dengan kompetitor itu," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma, menegaskan bahwa media online harus terus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa mengorbankan prinsip dasar jurnalisme.

“Media online perlu menguatkan jurnalisme berkualitas berupa data komprehensif atau investigatif. Selain itu, juga harus mampu mengadaptasi format visual seperti video dan infografis. Media perlu memanfaatkan konten berbasis teknologi sekaligus aktif membangun komunitas pembaca, karena kepercayaan pembaca adalah kunci utama industri media,” kata Dian, Selasa (16/9/2025).

Menurut Dian, salah satu pembeda media online dari konten di media sosial adalah penerapan standar jurnalistik yang ketat. Verifikasi fakta, transparansi sumber, dan konsistensi menjaga etika jurnalistik menjadi kunci utama.

“Di era pasca kebenaran, kepercayaan menjadi komoditas paling berharga. Media online harus mempraktekkan cek fakta, menampilkan sumber yang jelas, serta menghadirkan identitas penulis dan proses peliputan. Ini yang membedakan media online dengan opini liar atau hoaks di media sosial,” tegasnya.

Selain itu, Dian juga menyoroti strategi media online untuk menjangkau audiens di era dominasi konten singkat seperti Reels dan TikTok.

Menurutnya, generasi muda saat ini cenderung mencari informasi yang cepat, padat, dan menarik secara visual.

“Media online bisa memproduksi konten berita singkat, menghadirkan jurnalis sebagai figur publik digital, serta mengoptimalkan distribusi lintas platform. Keberadaan media online memang tidak tergantikan, tapi perannya kini lebih dari sekadar penyampai berita. Media juga harus tampil sebagai kurator, edukator, sekaligus penjaga kebenaran,” paparnya.

Tidak hanya itu, lanjut Dian, kolaborasi antara media online dan platform media sosial juga penting untuk memperkuat ekosistem informasi. Kerjasama ini diyakini mampu memperluas jangkauan berita, membuka peluang monetisasi yang tetap menjaga independensi, serta membantu menandai dan memverifikasi sumber kredibel di tengah banjir disinformasi.

“Dengan algoritma media sosial yang berbeda-beda, berita dari media online berpotensi menjangkau jutaan pengguna baru yang sebelumnya tidak mengakses situs berita secara langsung. Kolaborasi ini bisa menjadi peluang besar untuk menjaga kualitas informasi di ruang publik,” ujarnya.

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Lampung, Donny Irawan, mengungkapkan menjaga eksistensi media online di tengah derasnya arus informasi yang dibanjiri media sosial kini menjadi tantangan yang tidak ringan.

Donny menegaskan, satu-satunya cara agar media online tetap dipercaya publik adalah dengan memegang teguh kode etik jurnalistik.

Menurut Donny, media sosial memang menawarkan kecepatan dalam menyampaikan informasi, namun sering kali abai terhadap akurasi dan kelengkapan berita.

Banyak konten yang diunggah tanpa kronologi yang jelas, bahkan tak jarang hanya berupa potongan peristiwa semata. Sementara media online dituntut untuk menghadirkan informasi yang utuh, lengkap, serta dapat dipertanggungjawabkan.

“Kalau media sosial kan tinggal upload saja, tidak ada pedoman, tidak ada kode etik. Media online harus tetap menjaga integritas agar dipercaya publik. Hidup matinya media online itu ada pada kode etik jurnalistik,” kata Donny, Selasa (16/9/2025).

Lebih lanjut, Donny menekankan pentingnya integritas dan kekompakan di tubuh perusahaan media online.

Ia menyebut, untuk bisa bertahan, media online membutuhkan tim yang kuat dan solid, baik dalam pengelolaan konten maupun urusan bisnis seperti iklan.

“Kalau media sosial tidak perlu banyak orang, tinggal posting saja. Tapi kalau media online, perlu tim yang solid, ada reporter, editor, fotografer, itu semua butuh biaya,” katanya.

Tantangan lain yang dihadapi media online adalah menjangkau audiens di era dominasi konten singkat seperti Reels dan TikTok. Generasi muda cenderung lebih suka mengkonsumsi informasi dalam bentuk video pendek yang cepat, padahal media online harus tetap menonjolkan kedalaman berita.

Meski demikian, Donny mengaku, percaya bahwa media online masih punya keunggulan karena lebih dipercaya publik dibandingkan konten media sosial.

“Kalau orang membaca berita di media online, mereka lebih percaya dibanding sekadar melihat postingan di media sosial. Karena itu media online harus membedakan diri dengan memegang pedoman dan kode etik,” tegasnya.

Donny juga menyarankan, adanya kolaborasi antara media online dan platform media sosial, selama tetap menjaga integritas dan kode etik jurnalistik.

Menurutnya, kolaborasi itu bisa memperkuat ekosistem informasi agar lebih sehat, inklusif, dan mencerahkan masyarakat.

“Media online tidak boleh kehilangan arah hanya karena tergoda kecepatan ala media sosial. Boleh cepat, tapi harus tetap akurat. Kalau mau eksis, pegangannya jelas yaitu kode etik jurnalistik,” ungkapnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Rabu 17 September 2025 dengan judul "Media Online Benteng Informasi di Era Gempuran Medsos"