• Minggu, 06 Oktober 2024

Marak Kasus Anak di Metro, Aktivis Kritik Implementasi Visi Pemkot

Sabtu, 06 Juli 2024 - 18.35 WIB
1.5k

Aktivis Kebudayaan Kota Metro, Rifian Al Chepy saat dikonfirmasi awak media usai kegiatan bakti sosial di wilayah kecamatan Metro Timur. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Aktivis kebudayaan Kota Metro menyampaikan kritik pedasnya terhadap kinerja pemerintah Kota setempat atas maraknya aksi kekerasan melibatkan anak yang belakangan terjadi di Bumi Sai Wawai.

Hal tersebut diungkapkan aktivis Kebudayaan Kota Metro, Rifian Al Chepy kepada awak media usai kegiatan bakti sosial di wilayah Kecamatan Metro Timur, Sabtu (6/7/2024).

Ia menilai implementasi atas visi misi Kota Metro yang berbunyi Terwujudnya Kota Metro Berpendidikan, Sehat, Sejahtera dan Berbudaya tidak berjalan dengan baik. Bahkan, dirinya juga menyoroti visi kebudayaan yang dinilainya tidak konkrit terhadap kondisi Metro.

Dirinya bahkan menyoal Pemkot Metro dibawah kepemimpinan Wali Kota, Wahdi memiliki visi pembangunan untuk menjadikan Kota Metro sebagai Kota Pendidikan dalam arti Kota yang masyarakatnya berbudaya belajar, sehingga terwujud pribadi-pribadi warga yang unggul dan mempunyai daya saing.

Namun faktanya, praktik kekerasan bahkan pencabulan pada anak dan pelajar kerap terjadi sehingga dinilainya telah merontokkan nilai-nilai budaya pendidikan. Tak hanya itu, ia juga menuding bahwa arah program kebudayaan dalam visi misi tersebut tidak jelas.

"Bagaimana Metro bisa mewujudkan kota pendidikan yang berbudaya itu secara konkrit, apa yang menjadi kelebihan dan keunikannya sehingga menjadi daya tarik orang luar untuk datang ke Metro, sekarang ini kan tidak jelas, Kota Pendidikan apa," cetusnya saat dikonfirmasi awak media.

"Yang jelas kalau dulu kita mengerjakan pemberdayaan dan penguatan para pendidiknya. Saat ini, perlu perhatian kepada sumber dayanya sehingga bisa mencetak siswa-siswa yang unggul dan praktik kekerasan anak di sekolah bisa hilang, ini kan bagian dari budaya belajar yang baik," imbuhnya.

Pria yang akrab disapa bang Chepy itu juga menilai jargon kebudayaan yang melekat dalam visi Kota Metro tidak diimplementasikan dengan baik di semua lini.

"Jadi Pemerintah perlu menguatkan pendidikan dan keunikannya, Jangan hanya menjadi jargon saja. Pemerintah harus mampu menghadirkan keunikan-keunikan, membuat kelebihan-kelebihan sekolah itu menjadi lebih unik dan lebih kuat karakternya dibandingkan ditempat lain," ujarnya.

Dirinya juga membandingkan pola pendidikan sekolah inklusi yang menerapkan nilai-nilai kebudayaan pada periode lalu dan saat ini. Sehingga visi berbudaya yang ada dalam jargon Kota Metro hari ini menjadi pertanyaan kalangan aktivis kebudayaan.

"Dulu ada pendidikan inklusi, kenapa pendidikan inklusi sekarang lemah padahal pendidikan inklusi itu menjadi pintu masuk untuk memperkuat pemberdayaan pendidiknya. Apalagi sekarang sudah menyebut kata budaya, tapi kata budaya itu denyutnya di mana yang membedakan Metro tempo dulu atau masa lalu sebelum ada kata budaya dengan sudah ada kata budaya," jelasnya.

"Itu yang kami pertanyakan, penguatannya sudah ada di masyarakat itu di bidang mana. Itu yang kemudian harus segera dirumuskan sehingga Metro itu betul-betul menuju visinya yang disebutkan itu, sebagai Kota Berpendidikan, Sehat, Sejahtera dan Berbudaya," sambungnya.

Pria yang juga pembina Dewan Kesenian Metro (DKM) tersebut meminta pemerintah kota metro dapat meningkatkan fasilitas pendidikan serta sumber daya manusia tenaga pendidiknya. Hal itu sebagai upaya agar praktik kekerasan terhadap pelajar maupun anak tidak terjadi jika setiap orang memiliki budaya pendidikan.

"Tapi wujud konkret dari visi itu sampai sekarang belum kelihatan mengarah ke sana. Itu yang harus dipikirkan oleh teman-teman di sektor pendidikan. Pemerintah harus meningkatkan fasilitas, karena di era ini perkembangan teknologi juga semakin pesat. Jadi penguasaan IT itu juga harus dimiliki oleh semua guru, sehingga siswanya juga bisa diajari untuk mengoperasikan IT itu dengan baik dan bijak," paparnya.

Tak hanya itu, Dewan Pendidikan serta Komite Sekolah yang ada di Bumi Sai Wawai juga diharapkan dapat berkolaborasi dalam melakukan pengawasan para peserta didik di sekolah.

"Dewan pendidikan dan komite juga harus sama-sama mengawasi kekerasan kepada anak baik diskriminasi maupun kekerasan verbal itu betul-betul menjadi sekolah yang ramah anak jadi tidak hanya menjadi jargon-jargon saja," bebernya.

"Metro ini kan banyak sekali deklarasi sekolah ramah anak, tetapi dalam prakteknya masih banyak kekerasan di sekolah, bahkan ada juga korban pencabulan kan," tandasnya. (*)