• Jumat, 04 Oktober 2024

Akademisi Lampung Singgung Pelanggaran Etika MK dan Pelanggaran Etika KPU

Rabu, 07 Februari 2024 - 15.02 WIB
136

Para akademisi Lampung saat membacakan pernyataan sikap merespon kondisi terkini perpolitikan di Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu, (7/2/2024). Foto: Yudha/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Akademisi dari sejumlah kampus di provinsi Lampung menyatakan, sikap terkait dengan iklim demokrasi Indonesia saat ini di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu, (7/2/2024).

Kampus yang menyatakan sikap itu terdiri dari Universitas Lampung (Unila), Universitas Tulang Bawang (UTB), Universitas Bandar Lampung (UBL), Universitas Saburai, Universitas Malahayati, Universitas Muhammadiyah Metro, Universitas Mitra Indonesia (Umitra). Tercatat dalam pernyataan sikap itu 41 akademisi.
Akademisi dari Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Ari Darmastuti selaku perwakilan mengatakan, alasan pihaknya melakukan pernyataan sikap didasari oleh dua pelanggaran etika yaitu pelanggaran etika MK serta pelanggaran etika KPU RI.

"Tidak mungkin kami melakukan gerakan ini sebelum peristiwa hukum ini terjadi.
Ketua KPU dinyatakan pelanggaran etika oleh DKPP pada hari Senin kemarin, kemudian ketua MK baru bulan lalu," kata Ari.

"Kami melihat dua peristiwa ini yang paling memprihatinkan terus terang, karena belum pernah terjadi sebelumnya didalam pemilu masa reformasi. Ini menjawab pertanyaan kenapa baru bergerak karena selama ini belum ada pelanggaran etika yang terang-terangan tidak lagi tersembunyi," sambungnya.

Pasca reformasi 1998 kata Ari, sejarah Indonesia tidak pernah menampilkan perpolitikan yang seperti saat ini yang menurutnya sangat amat memprihatinkan.

"Saya termasuk saksi hidup bahwa kami mengawal demokrasi dari pertama, pertanyaan kenapa setelah 25 tahun kita tidak melakukan gerakan ini ya karena tidak ada masalah mendasar," bebernya.

Lebih lanjut, Ari mengatakan, bahwa eks Ketua MK Anwar Usman adalah paman dari calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang membuat putusan penuh dengan kepentingan politik.

"Bagaimana mungkin seorang paman dari ponakan saudara ipar dari seorang presiden membuat aturan, itu dari etika manapun itu tidak pantas dia ikut serta didalamnya. Itu bukti tidak beretika," tuturnya.

Ditempat yang sama, akademisi FISIP Unila Nanang Trenggono menegaskan, hal yang sama yaitu gerakan itu dilakukan atas dasar dua peristiwa pelanggaran etika.

"Hari ini kami menyampaikan suara keprihatinan, ada bobot etiknya, ada bobot moralnya tetapi juga ada muatan politiknya supaya suara politik itu didengar," kata Nanang.

"Kemudian kita tahu bahwa kenapa suara ini dilakukan sekarang tidak dari dulu, rasanya kalau dari dulu kita sudah bersuara dan sudah melaksanakan," sambungnya.

Menurutnya, isu pejabat negara bisa melakukan kampanye itu baru beberapa pekan yang lalu. 

Oleh karena itu agar supaya proses pemilihan umum itu fondasinya tidak rusak perguruan tinggi harus menyuarakan agar tidak rusak. 

"Kita harus kembalikan pemilu itu pada asasnya, langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," tegasnya.

Terlebih lagi kata Nanang, asas jujur dan adil itu produk dari reformasi 1998, maka penting pernyataan sikap pada hari ini dilakukan.

"Pada order baru itu tidak ada hanya langsung umum bebas rahasia. Ketika reformasi  ibarat permainan itu harus suportif," tutup Nanang. (*)
Editor :