Sejumlah Ormas Tuntut Jokowi Tuntaskan Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 98
Kupastuntas.co,
Bandar Lampung - Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban
Penghilangan Paksa, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), dan Kawan
‘98 (Kawan ’98) menuntut Presiden RI Jokowi untuk menyelesaikan kasus penghilangan
paksa aktivis Tahun 1997-1998 silam.
Juru bicara FRD dan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) periode 1996-2002, Herianto mengatakan tuntutan terhadap Presiden Jokowi tersebut diadukan oleh FRD, IKOHI dan Kawan 98 ke Lembaga Ombudsman, pasalnya selama 9 tahun masa kepemimpinannya ia dinilai mengabaikan Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2009 menyangkut penyelesaian kasus penghilangam secara paksa 1997-1998.
"FRD,
IKOHI, dan Kawan ‘98 menuntut Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan
Rekomendasi DPR RI dalam surat Nomor
PW.01/6204/DPR RI/IX/2009 kepada Presiden RI, terkait penanganan pembahasan
atas hasil penyelidikan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998,"
kata Herianto melalui siaran persnya yang diterima Kupastuntas.co Kamis
(18/01/24).
Hal itu
kata Herianto, tentu sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan
kejahatan penghilangan paksa dan menghentikan praktik penghilangan paksa di
Indonesia.
Herianto
juga menuturkan selama 9 tahun pemerintahan Joko Widodo terutama pada periode
ke 2 sejak 2019, FRD, IKOHI, dan Kawan ‘98 melihat tidak ada inisiatif dan niat
politik serius dari Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi DPR tersebut.
"Inisiatif
politik yang dijalankan presiden sejak 2019 malah semakin memperkuat impunitas
pada para pelaku penghilangan paksa aktivis 1997-1998 ditunjukan melalui tiga
fakta politik, pertama, pada 23 Oktober 2019 Presiden Jokowi mengangkat pelaku
utama penghilangan paksa aktivis 1997-1998 yaitu Prabowo Subianto sebagai Mentri
Pertahanan (Menhan) dalam Kabinet Indonesia Maju Masa Jabatan 2019-2024,"
katanya.
Sehingga
pengangkatan tersebut dapat dibaca sebagai upaya melindungi penjahat hak asasi
manusia (HAM) dan memperkuat impunitas. The Guardian, media Inggris, menaruh
judul Hari gelap HAM (Dark day for human rights: Subianto named as Indonesia's
defence minister) terkait pengangkatan Prabowo sebagai Menhan tersebut.
Sementara
Sekjen IKOHI, Zaenal Mutaqien mengatakan dengan terpilihnya Prabowo menjadi
Menhan merupakan upaya penuntasan kasus HAM masa lalu menjadi tertutup terutama
kasus penghilangan paksa tentu tak ada kemajuan lagi dan tidak akan ada
pengungkapan.
"Sosok
Prabowo Subianto harus bertanggung jawab atas kasus penculikan tersebut.
Prabowo yang kala itu berpangkat Letnan Jenderal Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dikeluarkan oleh institusi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena bertanggung jawab pada kasus
penculikan bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus,"
kata Zainal.
Kemudian
lanjut Zainal, langkah memperkuat impunitas Jokowi semakin ditunjukkan saat
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020
tentang pemberhentian dan pengangkatan dari dan dalam jabatan tinggi madya di
lingkungan Kementrian Pertahanan.
"Kepres 166 tersebut mengangkat dua mantan anggota Tim Mawar yaitu Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis dan Brigjen TNI Dadang Hendra Yudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan," lanjutnya.
Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(Kontras) Fatia Maulidiyanti
menilai Kepres 166 tersebut berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum
di Indonesia (impunitas), juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran
HAM.
Kemudian
menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dengan
langkah tersebut Presiden Jokowi semakin dinilai melanggar janjinya, terutama
dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta
pelanggaran HAM masa lalu di negara ini.
"Presiden
Joko Widodo tampak secara politik bersikap tidak netral dalam pemilihan
presiden 2024 (secara tidak langsung) dengan memberikan dukungan politik kepada
capres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putranya sendiri, Gibran
Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden 2024," ujarnya.
Dukungan
itu menurutnya merupakan sebuah kemunduran demokrasi, karena akan memperkuat
politik dinasti dan memperkuat impunitas dari capres yang terlibat dalam
kejahatan HAM berat di masa lalu. Kemunduran demokrasi di era Presiden Jokowi
juga diakui oleh Komnas HAM seperti tertulis dalam buku Laporan Tahunan
(Laptah) Komnas HAM 2022.
"Di
bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo situasi demokrasi Indonesia cenderung
mengalami regresi (kemunduran).Politik dinasti dan politik impunitas yang
dilakukan selama 9 tahun pemerintahannya juga telah mencederai janji Nawa Cita
Presiden Jokowi sendiri," ujarnya.
Wakil
Ketua Kawan 98 Joyo Sardo juga menilai apa yang dilakukan Presiden Jokowi
selama dua periode pemerintahannya telah mengingkari janji Presiden RI 2014 dalam
program prioritas Nawa Cita untuk menyelesaian kasus-kasus HAM.
Dalam
visi-misi dan agenda prioritasnya Nawa Cita agenda HAM dimuat dalam poin 4,
bagian 9 serta pada poin 11 huruf (f), Nawa Cita yang berbunyi (Kami
berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik
bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1 dan 2,
Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965).
Dalam
suasana kemunduran demokrasi dan presiden yang memprioritaskan politik dinasti keluarganya,
FRD, IKOHA dan Kawan 98 meminta Ombudsman demi menegakkan sila kedua Pancasila
'Kemanusiaan yang adil dan beradab' agar Presiden Jokowi menjalankan empat rekomendasi
DPR RI 2009 meminta Ombudsman untuk mendesak Presiden agar:
1.
Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc
2. Presiden
serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk melakukan
pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.
3.
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan
kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang
4.
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi
Anti-Penghilangan Paksa, sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik
penghilangan paksa. (*)
Berita Lainnya
-
MK Tolak Uji Materi Penyediaan Kotak Kosong di Pilkada Seluruh Daerah
Sabtu, 16 November 2024 -
Kemendagri Resmi Larang Kepala Daerah Sebar Bansos Jelang Pilkada
Kamis, 14 November 2024 -
Indonesia Peringkat Kedua Kasus TBC Terbanyak, Capai 1 Juta Lebih
Selasa, 12 November 2024 -
Pemerintah Antisipasi Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Mundur dari Jadwal
Senin, 11 November 2024