• Minggu, 06 Oktober 2024

Ada Politik Dinasti di Lampung, Pengamat: Karena Hasrat Mempertahankan Kekuasaan

Jumat, 24 November 2023 - 15.37 WIB
310

Pengamat politik Universitas Lampung (Unila) Darmawan Purba. saat dimintai keterangan, Jumat (24/11/2023). Foto: Yudha/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Politik dinasti jelang pemilu 2024 kembali mencuat ke publik paska ditetapkannya daftar calon tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lama ini.

Berdasarkan informasi yang dihimpun kupastuntas.co, politik dinasti di Provinsi Lampung sudah terlihat saat ini, seperti keluarga dari eks Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim.


Nunik sapaan akrabnya telah mundur dari jabatan Wakil Gubernur Lampung karena terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) DPR RI Dapil Lampung II.

Adik kandung dari Nunik, yakni Jihan Nurlela adalah seorang anggota DPD RI dari Dapil Lampung periode 2019-2024, dan pada pemilu 2024 ia kembali akan maju pada kontestasi tersebut. 

Kemudian adik bungsunya yakni Sasa Chalim Syajarotuddur menjadi Caleg DPRD Provinsi Lampung dari Dapil VIII partai PKB.

Kemudian Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana juga mempertontonkan politik dinasti. Suaminya yakni Herman HN adalah eks Walikota Bandar Lampung dua periode serta saat ini menjabat sebagai Ketua DPW NasDem.

Anak dari Eva Dwina yakni Rahmawati Herdian diketahui menjadi Caleg DPR RI Dapil Lampung I Bandar Lampung.

Dimintai tanggapan soal politik dinasti, Pengamat politik Universitas Lampung (Unila) Darmawan Purba mengatakan, kecenderungan penguasa dalam politik adalah merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan adalah kenikmatan.

"Yang pasti namanya kekuasaan itu dibahasakan sebagai sesuatu kenikmatan, pandangan tentang kekuasaan bahwa itu harus direbut dan dipertahankan," kata dia saat dimintai keterangan, Jumat (24/11/2023).

Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila ini menilai, politik dinasti itu selama melalui proses kaderisasi yang baik maka tidak ada masalah, namun apabila tidak melaui proses kaderisasi yang baik hal itu menjadi masalah.

"Selama itu dilalui arena yang dianggap etis mereka juga melalui proses perkaderan di partai politik ya gak ada perosalan kalau itu anak dari pemimpin selama proses itu telah dilalui," tandasnya.

Ia berharap kepada tiap-tiap politisi yang punya keinginan anak istrinya terjun ke politik untuk dipersiapkan secara matang, melalui perkaderan yang baik. Parpol harus memberikan pemahaman kepada tiap-tiap kadernya untuk melalui setiap proses perkaderan.

"Seandainya para politisi itu menerapkan tahapan proses politik, artinya anak istri mengikuti proses kaderisasi politik. Misalnya, anak pejabat sudah 5 tahun di partai politik kemudian mencalonkan diri ya itu gak masalah, karena sudah melalui proses," tuturnya.

"Yang selalu kita sesalkan adalah itu (dinasti politik) tidak melanggar aturan tetapi praktik demikian itu mengganggu psikologis politik. Yang namanya proses kaderisasi politik hanya kamuflase sebanyak punya kedekatan dengan elit politik ya orang bisa saja naik level cepat itu yang jadi perosalaan," tambahnya.

Menjadi persoalan menurutnya adalah reformasi partai politik saat ini tidak dijalankan sebagai mana mestinya.

"Misalnya berbicara desentralisasi parpol dari pusat kedaerah, tapi rekrutmenya kembali dari pusat kedaerah. Parpol gak mereformasi dirinya, itu tidak memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat," ungkapnya.

Ia mengatakan, demokrasi sebagai arena kompetisi yang kompetitif, rivalitas, yang bersifat karena keunggulan harus terjadi didalam internal Parpol.

"Dan itu tidak terjadi, artinya kalaupun orang punya kapasitas yang baik harus tersingkir dengan mereka yang mempunyai akses politik," tutupnya. (*)