• Senin, 07 Oktober 2024

Bawaslu RI Beberkan Potensi Pelanggaran Administrasi dan Pidana Pemilu

Kamis, 16 November 2023 - 15.36 WIB
57

Bawaslu RI. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Jakarta - Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Puadi menjabarkan mengenai potensi pelanggaran administrasi dan tindak pidana dalam Pemilu 2024.

Puadi mengatakan, sesuai UU Pemilu Nomor 7 Tahun 207, potensi pelanggaran administrasi pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Dan secara teknis ketentuan mengenai tata cara, prosedur, atau mekanisme administrasi pelaksanaan pemilu ini, diatur di dalam UU Pemilu, Peraturan KPU (PKPU) dan keputusan-keputusan KPU.

“Jadi pelanggaran administrasi pemilu ini merupakan pelanggaran terhadap norma UU Pemilu, Peraturan KPU, dan/atau Keputusan KPU yang mengatur mengenai tata cara, prosedur, atau mekanisme pelaksanaan pemilu,” katanya dalam Pelatihan Teknis Yudisial Tindak Pidana Pemilu Bagi Hakim Tingkat Pertama Peradilan Militer Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Mahkamah Agung (MA), Kamis (16/11/2023).

Puadi mencontohkan pelanggaran administrasi pemilu seperti KPU memasukkan masyarakat yang belum memenuhi syarat sebagai pemilih ke dalam daftar pemilih tetap (DPT).

“KPU menetapkan seseorang yang mantan terpidana korupsi yang belum menjalani masa jeda selama lima tahun setelah dinyatakan bebas dari hukuman penjara maupun denda dalam daftar calon tetap (DCT) untuk calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD,” jelasnya.

Contoh lainnya, Puadi melanjutkan, KPU melakukan verifikasi terhadap syarat pencalonan tidak sesuai prosedur. “Contoh lain seperti peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk melakukan kampanye pertemuan terbatas atau rapat umum tanpa pemberitahuan kepada kepolisian atau pemasangan alat peraga kampanye (APK) di tempat yang dilarang,” tuturnya.

Untuk tindak pidana pemilu, Puadi menyatakan sebenarnya dalam UU Pemilu tidak mengatur mengenai definisi dari tindak pidana pemilu.

“Tetapi kemudian, dalam UU Pemilu No. 7/2017 ini ada 77 tindak pidana yang diatur dari Pasal 488 sampai Pasal 553,” bebernya.

Ia menjelaskan, dalam norma tindak pidana pemilu, subjek paling banyak yang dikenai adalah penyelenggara pemilu. “Terdapat 26 norma yang subyek pidananya adalah penyelenggara pemilu, terdiri dari 23 (norma) untuk jajaran penyelenggara KPU dan tiga untuk jajaran Bawaslu,” ujarnya.

Mantan Anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta ini juga membeberkan tren putusan pidana pemilu sejak 2018. “Dalam Pemilihan 2018 ada 68 putusan. Terdiri dari netralitas ASN, termasuk kepala desa ada 33 putusan. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan pendidikan ada tujuh putusan. Lalu politik uang ada enam putusan, kampanye di luar jadwal ada empat putusan,” ungkapnya.

Sedangkan dalam tren putusan penyelenggaran tindak pidana dalam Pemilu 2019 totalnya ada 361 putusan. Menurutnya, politik uang adalah yang terbanyak dengan 83 putusan.

“Mencoblos lebih dari sekali ada 65 putusan, menyebabkan suara tidak bernilai, adanya tambahan atau pengurangan hasil suara terdapat 43 putusan, dan netralitas kepala desa ada 31 putusan,” bebernya.

Ia melanjutkan, tren putusan dalam Pemilihan 2020 terdapat 173 putusan. “Putusan itu terdiri dari politik uang ada 83 putusan, mencoblos lebih dari sekali 65 putusan, menyebabkan suara tidak bernilai, adanya tambahan atau pengurangan hasil suara sebanyak 43 putusan, dan netralitas kepala desa ada 31 putusan,” terangnya.

Puadi meminta peserta yang merupakan hakim pertama militer untuk bersama-sama menjaga netralitas TNI dalam gelaran Pemilu 2024.

“Dalam penanganannya netralitas TNI ini akan dilanjutkan dan ditangani oleh Bapak/Ibu sekalian. Untuk itu, mari kita bersama menjaga Pemilu 2024 ini lebih berkualitas sesuai dengan ketentuan UU,” pungkasnya. (*)