• Selasa, 08 Oktober 2024

Hakim Konstitusi Kritik Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres, Pengamat: Pertama Dalam Sejarah

Selasa, 17 Oktober 2023 - 14.26 WIB
160

Hakim Konstitusi Kritik Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres, Pengamat: Pertama Dalam Sejarah. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan syarat pendaftaran calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Putusan tersebut merespons permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal Capres dan Cawapres.

Menanggapi hal itu, Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Budiyono mengatakan, putusan MK tersebut cenderung aneh dan tidak konsisten.

"Putusan MK ini adalah putusan yang sangat aneh karena putusan ini tidak konsisten dengan putusan MK sebelumnya terutama tentang kebijakan hukum terbuka (open legal policy)," ungkap Budiyono, saat dimintai keterangan, Selasa, (17/10/2023).

Dalam putusan MK tersebut kata Budiyono, terdapat empat perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Bahkan pertama kali dalam sejarah Hakim Konstitusi mengkritik putusan MK.

"Ada empat dissenting opinion, dimana dua hakim terutama Prof. Sadil Isra mengungkapkan adanya keanehan keganjilan proses terjadinya putusan MK. Sebenarnya Hakim Konstitusi memberi sinyal pada masyarakat bahwa ini syarat akan intervensi politik karena ada konflik kepentingan," katanya.

"Ini baru terjadi dalam sejarah konstitusi bahwa hakim MK mengkritik putusan perilaku kolega hakim konstitusi lainya, ini menimbulkan ketidak percayaan masyarakat pada MK," ujarnya.

Baca juga : Tok! MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Budiyono mengatakan, MK adalah lembaga Yudikatif yang nantinya juga akan melakukan sidang-sidang sengketa pemilu, dengan adanya putusan MK saat ini akan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat.

"Kalau pendekatan keputusan MK ini masuk pusaran politik membahayakan MK dimana MK itu adalah penjaga konstitusi," kata dia.

Putusan MK yang menambahkan frasa pernah menjadi Kepala Daerah menunjukan kepentingan politik.

"Seperti putusan MK sebelumnya bahwa MK bisa di intervensi oleh kepentingan politik," tutupnya.

Sementara Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Kepemiluan IAIN Metro, Ahmad Syarifudin mengatakan, kewenangan mengadili pasal gugatan tersebut adalah Legislatif.

"MK keluar jalur dengan mengadili pasal yang sebenarnya merupakan open legal policy yang harusnya jadi kewenangan DPR dan Presiden," kata dia.

Sehingga kata dia, mengubah hal itu adalah kewenangan Presiden dan DPR melalui pembentukan UU Pemilu yang baru, atau cukup mengubah Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017.

"MK terjatuh dalam pusaran politik," tegasnya.

Menurutnya, putusan MK ini bisa saja tidak ditindaklanjuti oleh KPU dikarenakan memang belum ada sanksi yang dapat diberikan apabila putusan MK tidak dijalankan.

"Tidak ada sanksi bagi lembaga seperti KPU yang tidak menjalankan putusan MK. Tetapi dalam sistem ketatanegaraan kita sudah sepakat kalau MK adalah salah satu cabang kekuasaan kehakiman yang putusannya final dan mengikat sebagaimana diatur dalam UUD 1945," jelasnya.

Meskipun demikian, bisa saja terdapat masyarakat yang melaporkan KPU RI kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) apabila KPU tidak menindaklanjuti putusan MK.

"Tapi kalau KPU tidak menjalankan putusan MK, bisa saja ada yang membawa Komisioner KPU ke ruang sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu," tutupnya.

Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan kesimpulan bahwa Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Anwar saat membaca amar putusan di Gedung MKRI yang dapat dilihat di akun youtube resmi Mahkamah Konstitusi RI, Senin (16/10/2023).

"Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7 2017 tentang Pemilu yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD. Sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, sehingga Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi: Berusia paling rendah paling rendah 40 tahun atau pernah /sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pilkada, memerintah pemuatan putusan ini dalam berita acara negara," katanya.

Anwar mengatakan terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion). Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023. Sidang pemeriksaan pendahuluan diselenggarakan pada 5 September. Kala itu, Almas hadir bersama kuasa hukumnya secara daring.

Almas mengaku sebagai pengagum Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka pada sidang pemeriksaan pendahuluan itu. Ia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta.

Dalam berkas permohonannya, Almas menyatakan diri sebagai pengagum Gibran yang merupakan putra Presiden Joko Widodo itu beserta kinerjanya sebagai Wali Kota.

"Bahwa pemohon juga memiliki pandangan tokoh yang inspiratif dalam pemerintahan era sekarang, yang juga menjabat sebagai Walikota Surakarta di masa Periode 2020-2025, hal ini jelas bahwa di dalam masa pemerintahan Gibran Rakabuming tersebut pertumbuhan ekonomi di solo naik hingga angka 6,25 persen yang di mana saat awal ia menjabat sebagai walikota, pertumbuhan ekonomi di Solo minus 1,74 persen," ujar kuasa pemohon dalam persidangan, Selasa (5/9/2023).

"Bahwa dengan merujuk pada data banyaknya kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 40 tahun pada pemilu sebelumnya (pemilu tahun 2019), disertai dengan kinerja kepala daerah berusia di bawah 40 tahun dan kinerja-kinerja menteri berusia muda yang baik, sudah seharusnya konstitusi tidak membatasi hak konstitusional para pemuda kita untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dengan menggunakan syarat batas usia," jelas kuasa pemohon. (*)