Kompleksitas Lahan Gambut Kabupaten Mesuji, Konflik Agraria dan Potensi Ekonomi, Oleh: Ir. Septa Riadi, S.TP, MM, M.Si
Kupastuntas.co, Mesuji - Kabupaten Mesuji merupakan salah
satu kabupaten yang terletak di bagian paling utara provinsi Lampung yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Laut Jawa. Sejarah Kabupaten
Mesuji dimulai semenjak abad ke 18, dan saat itu kampug tua Mesuji hanya
terdiri dari 8 perkampungan saja yang memeprsatukan diri menjadi sebuah marga
Mesuji, karena terletak di tepian sungai Mesuji.
Seiring dengan berjalannya waktu, marga Mesuji merupakan
bagian dari Kabupaten Lampung Utara dan pada tahun 1997 menjadi bagian
Kabupaten Tulang Bawang dan pada akhirnya pada tahun 2008 memisahan menjadi
kabupaten yang mandiri.
luas wilayah kabupaten Mesuji 2.184 KM² yang terdiri dari 7
(tujuh) kecamatan dan 75 desa, dengan mayoritas daerah berupa dataran rendah.
Secara geografis wilayah Kabupaten Mesuji terletak antara 5° - 6° lintang
selatan dan 106°- 107° bujur timur, yang terletak antara dua sungai besar yaitu
Sungai 27 Mesuji dan Sungai Buaya yang bermuara di laut Jawa.
Kawasan lindung di Kabupaten Mesuji mayoritas terdiri dari Kawasan
sempadan sungai dan rawa gambut. Kawasan sekitar rawa berupa kawasan sepanjang
perairan dengan jarak 200 meter dari titik pasang tertinggi, yang berada di
Kecamatan Mesuji, Kecamatan Mesuji Timur dan Kecamatan Rawajitu Utara dengan
luas kurang lebih 20.973 Ha.
Selain itu terdapat Kawasan hutan produksi yaitu Kawasan hutan
tanam industri (HTI) terdapat di Register 45 Sungai Buaya di Kecamatan Way
Serdang dan Mesuji Timur, seluruhnya merupakan kawasan HTI seluas 42.762 Ha.
Kemudian hutan rakyat seluas 2600 hektar.
Kawasan peruntukan pertanian di Kabupaten Mesuji berupa
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Sebagian
besar penggunaan lahan untuk kawasan pertanian adalah berupa pertanian tanaman
pangan.
Sedangkan untuk kawasan strategis kabupaten direncanakan kawasan
berikut : Kawasan KTM Mesuji yang berada pada Mesuji Timur dengan kegiatan
penunjang minapolitan dan Agropolitan, Kota Agropolitan, Wisata Agro, Pertanian
lahan pangan sebagai lumbung padi dan hortikultura, serta perdagangan.
Kawasan Kota Bahari Wiralaga dengan kegiatan yang terdiri dari
perikanan, pusat perdagangan jasa dan pelayanan publik, industri pengolahan
hasil serta perkebunan. Dan Kawasan Minapolitan Rawajitu Utara sebagai kegiatan
minapolitan serta pusat perdagangan dan jasa.
Salah satu yang banyak terekspose dari konflik Mesuji adalah konflik agraria yang terus berlangsung dari tahun ke tahun. Konflik agraria merupakan sebuah perselisihan yang terjadi dalam sengketa tanah. Konflik agraria di kabupaten Mesuji terjadi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1940 pemerintah kolonial menunjuk kawasan register 45 menjadi kawasan Hutan Tanam Industri (HTI) dan kelompok hutan yang ada di dalamnya terdapat masyarakat adat dinyatakan menjadi hutan larangan Sungai Buaya.
Pengukuran tapal batas tersebut diikuti dengan kegiatan
penggusuran wilayah kawasan hutan register 45 dimana dalam proses penggusuran
tersebut melibatkan tim tata batas tingkat II Lampung Utara. Hal ini memberikan
dampak dan permasalahan terkait batasan kawasan HTI register 45 dimana dalam
perluasan kawasan tersebut terdapat lahan masyarakat adat Talang Batu seluas
7000 Ha dan lahan seluas 2.600 Ha milik masyarakat adat Talang Batin.
Masyarakat adat tersebut merupakan masyarakat yang sudah ada
dan mendiami kawasan hutan sejak tahun 1917-1918, masyarakat yang merasa lahan
mereka diklaim oleh pihak perusahaan melalui SK yang dikeluarkan Menhut tidak
terima dan masyarakat melakukan tuntutan kepada pemerintah untuk pengembalian
lahan yang di klaim oleh perusahaan perkebunan.
Pemerintah menerima tuntutan masyarakat mengenai
pengembalian lahan, tetapi tidak memenuhi tuntutan dari masyarakat, pemerintah
hanya mengabulkan 2.300 Ha dari tuntutan pengembalian seluruh lahan yang di
klaim oleh perushaan (ridho, 2016).
Konflik agraria mulai muncul ketika kedua masyarakat adat
tersebut mengklaim lahan yang di garap dan di kelola perusahaan perkebunanan
tersebut merupakan lahan milik masyarakat adat.
Perampasan lahan oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan tersebut
membuat masyarakat yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari
tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat keberlanjutan
kehidupan. Karena hal tersebut masyarakat kembali menuntut pengembalian tanah
adat pada masa pasca reformasi 1998 (Astuti, n.d.).
Akan tetapi penuntutan kembali hak-hak atas tanah oleh
masyarakat adat ini direspon tindakan represif atau penolakan.
Ironisnya perusahaan dan pemerintah menuduh masyarakat desa tersebut
sebagai perambah hutan. Gubernur Lampung melayangkan surat No. 522/1240/01/2004
mengenai klaim lahan kawasan hutan register 45 sebagai kawasan hutan larangan
milik pemerintah pada 29 Juli 2004 silam.
Pemerintah menganggap bahwa sebagian kawasan hutan produksi
Sungai Buaya merupakan lahan pemerintah. Kemudian pada bulan Maret tahun 2010
desa Talang Batu di gusur oleh Pasukan Pengaman Masyarakat (PAM) Swakarsa
perusahaan bersama dengan Brimob.
Rumah-rumah masyarakat di robohkan dengan alat-alat berat.
pada mulanya semua berjalan lancar namu pada penggusuran di bulan berikutnya
yaitu bulan November 2010 terjadi kericuhan 3 dimana Tim Gabungan Perlindungan
Hutan Provinsi Lampung terlibat baku hantam oleh masyarakat sekitar hingga menelan
korban jiwa (Mahmudi, 2014).
Permasalahan di Mesuji semakin rumit ketika terbentuk
perkampungan baru yang disebut perkampungan moro-moro di area kawasan HTI
register 45. Pada tahun 1996-1997 para pendatang mendatangi kawasan tersebut
dan mulai menebangi tanaman sengon dan tanaman hutan industry lainnya hingga
kawasan tersebut gundul.
Kemudain di tahun 1999 masyarakat semakin banyak berdatangan
ke kawasan tersebut dan mulai mendirikan bangunan-bangunan 4 yang berasal
dari berbagai daerah. Kemudain tanah di
daerah tersebut di kapling-kapling dan di bagi sesame mereka (Rasyidi, 2017).
Konflik agararia khsusnya di Mesuji sendiri tidak hanya
terjadi antara masyarakat dengan PT Silva saja akan tetapi pada kisaran tahun
2010 dan 2011 Mesuji sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja mengingat
terjadi konflik perebutan tanah dibeberapa titik dalam satu kawasan dan
melibatkan pihak lain seperti kasus PT Barat Selatan Makmur Investindo dengan
masyarakat Kangunan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning.
Konflik tersebut tidak jauh berbeda dengan konflik yang
terjadi antara PT Silva dengan masyarakat desa Talang Batu, Pelita Jaya, dan Moro
moro yang membuat situasi di Mesuji pada saat itu menjadi bersitegang dengan
adanya konflik Vertikal perebutan lahan (Mukmin, 2016).
Konflik yang telah berlangsung lama hingga belasan tahun
tersebut telah menimbulkan berbagai dampak seperti halnya kekerasan,
penggususran dan pengabaian hak-hak konstitusional warga Negara terutama bagi
masyarakat Desa Moro-moro yang merupakan entitas masyarakat yang mengalami pengabaian
hak-hak konstitusionalnya, yang pada akhirnya berdampak signifikan bagi
kehidupan mereka.
Disisi lain, ratusan ribu penduduk Mesuji yang lain, yang
terletak di ujung-ujung sungai Mesuji dan anak-anak sungainya berkutat
memperbaiki keadaan perekonomiannya dengan menjadi petani dan pekebun.
Puluhan desa yang yang terletak di kecamatan Mesuji, Rawa
Jitu Utara, Tanjung Raya, dan Mesuji Timur bisa dianggap sebagai daerah daerah
terpencil di Kabupaten Mesuji. Mereka berjuang dengan minimnya akses transportasi
darat yang sangat sulit. Dikarekan lahan rawa gambut, jalan yang dibangun
pemerintah sangat sulit bisa bertahan lama.
Sedangkan komoditas yang mereka hasilkan harus dijual
ketempat lain yang akan berdampak pada turunnya harga. Bahkan beberpa komoditas
yang mudah rusak seperti padi , harus segera sampai ketempat pengeringan di
hari yang sama untuk mencegah penurunan kualitas yang berdampak pada turunnya harga
dengan drastis.
Yang sekali lagi akan sangat sulit dilakukan karena jalanan
yang rusak. Multiplier effect dari jalan yang rusak ini juga mengakibatkan
harga faktor produksi seperti bahan bakar, bibit, pupuk dan obat obatan menjadi
lebih mahal, sekali lagi petani menjadi pihak yang paling dikorbankan.
Kedua gambaran diatas , baik dari sisi konflik agraria dan
juga keadaan sosial ekonomi petani di Kabuaten Mesuji menunjukkan kompleksitas
yang luar biasa sulit untuk diurai. Terkadang menyelesaikan suatu masalah akan
menyebabkan permasalahan di sudut yang lain.
Penyelesaian konflik seprti ini harus didekati dengan
pendekatan transdisiplin yang holistic dan melibatkan seluruh aktor dan faktor
dan melibatkan local wisdom yang ada, juga pranata adat yang telah terbentuk ratusan
tahun sebelumnya. Semoga kedamaian dan pertumbuhan ekonomi di lahan rawa gambut
Mesuji bisa terwujud. Amin.. (*)
Berita Lainnya
-
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024 -
Kota Baru, Menghidupkan Kembali Impian yang Terbengkalai di Pilkada Gubernur Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Senin, 15 Juli 2024 -
Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 03 Juli 2024