Jurang Retorika Oleh Seno Kardiansyah
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kemunculan sosok Bima yang mengkritisi buruknya kebijakan infrastruktur di provinsi Lampung beberapa waktu lalu menimbulkan kontroversi dan berbagai narasi di muka publik. Sebagian masyarakat turut mengapresiasi sikap pemuda asal kabupaten Lampung Timur tersebut, tetapi tak sedikit pula yang bersikap antipati terhadap laku yang ditunjukan, terutama retorika (i.e. kata dajjal) yang ia pilih sebagai metafora untuk menggambarkan situasi yang terjadi. Belakangan, sang konten kreator pun kembali menciptakan kontroversi karena menyebut tokoh Megawati Soekarnoputri dengan sebutan ‘janda’ dan merujuk Soekarno dengan kata ‘mampus’.
Tanpa mengurangi dukungan terhadap nilai-nilai kebebasan berekspresi di dalam dunia demokrasi modern, namun rasanya sensitifitas dalam berekspresi oleh generasi muda juga harus terus ada demi menjaga nilai-nilai etis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai substansi kritis yang coba disampaikan justru menciptakan jurang disharmoni sosial. Sebab, retorika-retorika negatif yang digunakan dapat diterjemahkan sebagai penghinaan atau bahkan ujaran kebencian, sehingga berpotensi memicu kemarahan individu maupun kelompok.
Pertanyaannya, apakah problem retorika ini hanya muncul dari sosok muda seperti Bima? Ternyata tidak.
Jurang Retorika dan Tokoh Negara Perlu diingat, problem retorika semacam ini tidak hanya dimiliki oleh generasi muda. Tokoh-tokoh negara pun kerap terjerembab ke dalam jurang retorika. Suatu realitas yang menunjukkan bahwa generasi yang lebih tua ternyata gagal menjadi contoh bagi generasi penerusnya.
Pernyataan Megawati Soekarnoputri pada Rekernas II PDI-P tentang tukang bakso pada 2022 lalu ditanggapi negatif karena dianggap menghina profesi tersebut.Kontroversi serupa juga tercipta akibat pernyataan mantan presiden ke-5 itu saat merespons protes di kala masyarakat tengah terhuyung-huyung akibat krisis minyak goreng beberapa bulan sebelumnya. Selain Megawati, beberapa tokoh negara lainnya juga sempat berpolemik akibat ungkapan yang dilontarkan di muka publik. Seperti retorika menteri Yaqut tentang toa masjid dan gonggongan anjing, menteri Bahlil tentang pengusaha nakal dengan pencak silat, serta capres Prabowo tentang rendahnya daya beli masyarakat dengan tampang Boyolali. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa retorika bisa menjadi senjata utama bagi para tokoh untuk menarik simpati. Akan tetapi, produksi retorika yang ditunjukkan para cerdik pandai yang dianggap tokoh bangsa di negeri ini justru ditafsirkan nihil empati.
Dampak yang ditimbulkan dari retorika bobrok semacam itu memang tidak akan sedahsyat serangan virus corona. Anggap saja itu suatu kekhilafan saat berbicara. Buktinya, selain protes keras yang diberikan oleh berbagai kalangan rakyat biasa, tidak pernah ada pertanggungjawaban jelas yang diberikan oleh tokoh-tokoh bangsa. Namun jika terus dibiarkan tanpa adanya pertanggungjawaban nyata, maka publik akan terbiasa dengan pandangan negatif atas budaya asli Indonesia dan kehidupan yang menjadi keseharian rakyat biasa. Bahkan lebih jauh lagi, publik bisa jadi terbiasa dengan budaya melecehkan hidup sesamanya. Alih-alih mengeratkan hubungan antar warga negara, bibit perpecahan justru disebar di mana-mana. Maka, perlu dimunculkan kembali kesadaran ihwal etika dalam berekspresi di muka publik. Perkembangan dan pemanfaatan teknologi digital yang kian meluas sebenarnya bisa digunakan tokoh intelektual untuk mendidik masyarakat dalam hal berbahasa, tidak hanya perlu analitis dan kritis, namun juga harus etis. Apalagi kontestasi politik akan kembali digelar tak lama lagi.
Retorika Pionir Bangsa
“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”, ungkap HOS Tjokroaminoto. Kira-kira retorika semacam itu yang harusnya diterima publik hari-hari ini. Suatu anjuran bermutu demi membangun mentalitas generasi yang akan datang. Sebab arahan etis seperti itu lebih dibutuhkan ketimbang sekadar basa-basi retoris yang diucapkan sebagai respons atas manuver politis. Apalagi dengan maraknya geliat politik dini hari seperti yang dipertontonkan para elit belakangan ini.
“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri”, ucap R.A. Kartini. Mungkin retorika itu yang harus kembali diingat oleh para tokoh negara saat ini. Sebab dalih tiada maksud buruk dari ungkapan-ungkapan negatif tersebut, tidak dapat memungkiri dampak sosial yang ditimbulkan. Sikap ke-negarawanan yang harusnya membawa ke dalam wadah persatuan, justru berbalik arah menuju jurang perpecahan. Hal itu hanya semakin membuktikan bahwa kualitas intelektual pemimpin masa kini masih jauh di bawah pejuang-pejuang kemerdekaan di masa penjajahan.
“Memimpin adalah menderita”, kata K.H. Agus Salim. Barangkali itu dapat menjadi pengingat bahwa di balik kekuasaan yang besar, turut mengiring tanggung jawab yang besar pula. Artinya para pemangku kekuasaan harus terus mawas diri baik dari segi tindakan maupun ucapan. Kendati dapat dipahami bahwa situasi kebangsaan yang dihadapi sungguh menguras energi. Namun, segala hal yang dilakukan pasti akan terus disoroti. Maka, betapa pun pelik kondisi saat ini, tetap harus menjaga ucapan agar tidak melukai. Tugas terpenting saat ini adalah beranjak pergi dari praktik politik yang demagogis menuju sikap yang pedagogis.
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”, ungkap Bung Hatta. Dari sini dapat kita pahami, bahwa seburuk apapun kualitas retorika para tokoh bangsa, hal itu dapat diperbaiki jika ada kesadaran dan keinginan untuk kembali belajar dan memahami bahaya jurang retorika. Bukan justru kerap memungkiri kesalahan-kesalahan dengan berbagai pembenaran, serta dalih itu dan ini. Sebab jika memang itu yang terus dilakukan, maka memang benar bahwa “tidak jujur itu sulit diperbaiki”!. (*)
Video KUPAS TV : Pemerintah Kota Bandar Lampung Salurkan Bantuan Beras Bapanas
Berita Lainnya
-
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024 -
Kota Baru, Menghidupkan Kembali Impian yang Terbengkalai di Pilkada Gubernur Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Senin, 15 Juli 2024 -
Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 03 Juli 2024