Mahkamah Konstitusi Larang Eks Koruptor Nyaleg Hingga 5 Tahun Usai di Penjara
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mahkamah Konstitusi (MK)
membuat putusan fenomenal. Kali ini MK memutuskan mantan terpidana korupsi boleh mencalonkan
diri menjadi anggota legislatif, asalkan mesti menunggu selama 5 tahun setelah keluar penjara. MK
menilai hal itu untuk memberi waktu introspeksi diri eks koruptor.
"Mengadili. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian," kata kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan
Chanel YouTube, Rabu (30/11/2022).
Pasal 240 ayat 1 huruf g yang diubah awalnya
berbunyi:
Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
(i)tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak
pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik
yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
mantan terpidana; dan
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang
berulang-ulang;
"Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah
ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi
calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf
g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional
bersyarat oleh Mahkamah," ucap majelis.
Padahal keduanya merupakan salah satu syarat
formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials). Maka
pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan
norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan
yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan.
"Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk
menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon
kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan
tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945," ujarnya.
MK menilai masa tunggu 5 tahun setelah terpidana
menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan
introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon
kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka
kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang
kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon
pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.
"Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat
secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang
memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum
(notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan
seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut.
Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada
akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan
pilihannya," ungkap majelis.
Selain itu, fakta emipirik ada yang mengulang
kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana
korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih,
jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang
lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang
bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta
menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak
menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana
tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan MK.
"Selain itu, langkah demikian juga dipandang
penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna
esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan
integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak
menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk
tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan," bebernya. (Dtc)
Berita Lainnya
-
MK Tolak Uji Materi Penyediaan Kotak Kosong di Pilkada Seluruh Daerah
Sabtu, 16 November 2024 -
Kemendagri Resmi Larang Kepala Daerah Sebar Bansos Jelang Pilkada
Kamis, 14 November 2024 -
Indonesia Peringkat Kedua Kasus TBC Terbanyak, Capai 1 Juta Lebih
Selasa, 12 November 2024 -
Pemerintah Antisipasi Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Mundur dari Jadwal
Senin, 11 November 2024
- Penulis : ADMIN
- Editor : Sigit Pamungkas
Berita Lainnya
-
Sabtu, 16 November 2024
MK Tolak Uji Materi Penyediaan Kotak Kosong di Pilkada Seluruh Daerah
-
Kamis, 14 November 2024
Kemendagri Resmi Larang Kepala Daerah Sebar Bansos Jelang Pilkada
-
Selasa, 12 November 2024
Indonesia Peringkat Kedua Kasus TBC Terbanyak, Capai 1 Juta Lebih
-
Senin, 11 November 2024
Pemerintah Antisipasi Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Mundur dari Jadwal