• Jumat, 29 Maret 2024

4 Kepala Daerah Provinsi Lampung Manfaatkan 'Fee Proyek' Untuk Kepentingan Pribadi

Senin, 16 Maret 2020 - 07.58 WIB
888

Ilustrator: Reza/Kupastuntas.co

Bandar Lampung - Sejumlah kepala daerah di Provinsi Lampung diduga hingga kini masih tergoda untuk menarik fee proyek. Penyebabnya, salah satunya ongkos politik yang mahal dalam pelaksanaan Pilkada langsung. Fee proyek menjadi cara instan dan konvensional untuk mengumpulkan modal besar.

Sudah ada empat kepala daerah (bupati) di Provinsi Lampung yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, karena menerima upeti berupa fee proyek. Kepala daerah ini memperkaya diri dengan menggerogoti uang negara yang tidak sedikit, dimana rata-rata uang dari setoran proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) daerah setempat.

Penangkapan terbaru oleh KPK, yaitu Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara. Dalam dakwaan jaksa KPK, Agung Ilmu Mangkunegara selama kurun waktu tahun 2015-2019 diduga menerima fee proyek hampir Rp100 miliar dari Dinas PUPR setempat.

Sebelumnya, Bupati Mesuji, Khamami juga terjaring OTT KPK diduga menerima fee proyek sekitar Rp 1,28 miliar. Selanjutnya, Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan juga menerima uang hasil proyek infrastruktur mencapai 100 miliar lebih yang bersumber dari rekanan-rekanan yang akan mendapatkan kegiatan proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan.

Kasus serupa juga menjerat Bupati Lampung Tengah, Mustafa. Kasus fee proyek yang menjerat Mustafa adalah pengembangan dari perkara  suap persetujuan pinjaman daerah untuk APBD Lampung Tengah tahun 2018. Mustafa menerima fee dari ijon proyek-proyek di lingkungan Dinas Bina Marga dengan total uang suap mencapai Rp95 miliar.

Seorang pengacara di Provinsi Lampung, Y mengatakan, fee proyek adalah pola lama yang diberlakukan oleh sejumlah kepala daerah untuk mengumpulkan modal besar.

Dikatakan dia, kepala daerah menarik fee proyek karena harus memulangkan modal yang sudah dikeluarkan saat mengikuti Pilkada langsung. “Jadi pemicu fee proyek itu karena biaya politik yang tinggi,” jelasnya, Minggu (15/03/2020).

Ia melanjutkan, fee proyek adalah sumber pendapatan yang luar biasa dari seorang kepala daerah. Menurutnya, menarik fee proyek merupakan cara konvensional yang dilakukan kepala daerah selama lima tahun menjabat.

“Biasanya fee proyek memang ditarik dari Dinas PU. Karena dinas inilah yang menguasai pembangunan sektor infrastruktur sekitar 70 -80 persen APBD. Karena PU juga menangani pula pembangunan infrastruktur dari Dinas Pendidkan, Kesehatan dan dinas lainnya. Karena itu memang sudah menjadi tupoksinya,” kata rekanan ini.

Ia mengakui, hingga kini praktik fee proyek masih tetap berlangsung, meskipun sudah ada sejumlah kepala daerah di Provinsi Lampung yang sudah terjaring OTT KPK. Dikatakan, fee proyek sudah seperti menjadi cultur dalam pengadaan barang dan jasa di suatu daerah.

“Kucing-kucingan lah polanya. Sebagian besar masih melakukan. Namun lebih tersembunyi dan lebih berhati-hati,” ungkapnya.

Rekanan ini pun membeberkan, saat ini fee proyek yang ditarik kepala daerah dihitung secara global dihitung dari nilai anggaran infrastruktur yang ada di seluruh dinas di daerah setempat.

“Saat ini trennya dihitung secara global. Misalnya dalam satu tahun ini ada Rp200 miliar anggaran pembangunan infrastruktur semua dinas, maka  yang Rp20 miliar sampai Rp40 miliar itu sudah punya bupati. Tapi nanti itu dipungut melalui kepala dinas masing-masing sebagai perpanjangan tangan bupati,” terang dia.

Namun, ia optimis praktik fee proyek bisa dihapus di Provinsi Lampung. Ia mencontongkan pengelolaan anggaran di DKI Jakarta yang dilakukan melalui system online dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat.

Menurutnya, praktik fee proyek itu sangat bergangung dengan kebijakan kepala daerah sebagai pimpinan tertinggi dalam pemerintahan daerah.

“Kuncinya hanya political will atau kebijakan dari kepala daerahnya. Serta dilakukan online system dalam pengadaan barang dan jasa. Tapi pengadaan online masih bisa diintervensi, jika pengadaan online itu tidak bisa diakses oleh masyarakat,” paparnya.

Ia menambahkan, jika praktik fee proyek sangat berdampak pada kualitas pekerjaan yang dihasilkan. “Pasti berdampak pada kualitas proyek, Kontraktor kan ingin cari untung. Dengan banyaknya pemangkasan angaran pasti anggaran yang digunakan untuk pembangunan juga menyusut,” imbuhnya.

Dimintai tanggapannya, Sekertaris Daerah (Sekda) Kota Bandar Lampung, Badri Tamam mengungkapkan, fenomena maraknya kepala daerah terjerat fee proyek dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Namun, kata dia, untuk meminimalisir hal hal pertama yang harus dilakukan yaitu perkuat sistemnya.

"Hal yang pertama harus kita bangun adalah sistemnya. Seperti sistem sekarang kan sudah kita gunakan sistem Informasi dan Teknologi (IT)," kata Badri Tamam, Minggu (15/03/2020).

Ia berharap dengan sistem IT dapat mengurangi dan menekan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. "Sistem IT ini tidak bersentuhan antara manusia dengan manusia lainnya. Jadi dengan IT ini kita berharap bisa mengurangi dan menekan (kasus fee proyek)," ujarnya.

Selain sistemnya, lanjut dia, yang perlu diperhatikan yaitu sumber daya manusia (SDM). "Ada beberapa faktor termasuk SDM-nya, kesejahteraannya termasuk atitude atau perilakunya," tuturnya.

“Ditambah sistem sekarang sudah dipantau langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan lupa, kesejahteraannya harus penuhi, SDM-nya selalu kita tingkatkan dengan pelatihan-pelatihan," kata dia.

Ia menambahkan, jika sistem sudah diperketat dan kebutuhannya juga sudah dipenuhi, namun masih terjadi kasus fee proyek  maka hal itu sudah merupakan perilakunya. "Maka itu perilakunya. Dan ini sanksinya harus tegas," tandasnya.

Sementera itu, Plt Bupati Lampung Utara, Budi Utomo menyatakan sudah meminta semua organisasi perangkat daerah (OPD) melakukan tender proyek secara terbuka dan tidak memungut fee proyek.

Budi Utomo mengatakan, untuk membangun Kabupaten Lampung Utara dibutuhkan keterbukaan dari semua elemen. Untuk itu, kata dia, segala bentuk pengadaan baik itu untuk barang dan jasa maupun lainnya harus dilakukan secara terbuka dan sesuai aturan.

“Saya sudah sampaikan kepada masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD), dengan harapan tidak ada lagi praktek pungli maupun penerimaan fee terkait proyek ini,” kata Budi Utomo, baru-baru ini.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lampung Utara, Syahrizal Adhar menambahkan, dirinya secara pribadi sudah berkomitmen untuk menjalankan tugasnya sesuai peraturan yang berlaku. 

"Sampai dengan saat ini, sudah berjalan lima bulan saya menjabat kepala Dinas PUPR dan tidak ada komunikasi terkait paket-paket proyek. Apalagi tentang perencanaan untuk mendapatkan proyek," kata Syahrizal Adhar.

Menurutnya, proses lelang yang dimulai tahun ini, akan dijalankan sesuai dengan aturan terkait Perpres pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. "Itupun dilaksanakan oleh tim dan melalui aplikasi, dan ini terbuka," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung, Ginda Ansori Wayka mengatakan, faktor utama menyebabkan kepala daerah tergoda menarik fee proyek adalah biaya politik yang terlalu mahal.

Menurutnya, hal itu tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk Pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik.

Ginda menjelaskan, dalam beberapa kasus kepala daerah yang terjerat oleh KPK, dapat diketahui bahwa biaya politik yang tinggi sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah.“Misalnya, beberapa pelaku mengakui mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali, dan pengumpulan mantan tim sukses untuk mengelola proyek di daerah tersebut,” kata Ginda, Minggu (15/03/2020).

Ia mengatakan, akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan. Dikatakan, hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat.

"Utang dana kampanye tersebut berisiko dibayar oleh kepala daerah melalui alokasi proyek-proyek di daerah. Jika ini tidak diselesaikan, akan semakin sulit mengurai benang kusut korupsi politik di daerah," tegas Ginda.

Ia menambahkan, fee proyek merupakan modus yang menonjol pada hampir semua kasus yang melibatkan kepala daerah.

“Walaupun ada juga beberapa kasus yang menerima uang terkait perizinan, dan pengisian jabatan di daerah. Namun kasus fee proyek merupakan kasus tertinggi,” ucapnya.

Ia menegaskan, praktik fee proyek jelas merugikan. “Korupsi dalam proses pengadaan berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lain-lain yang dibeli,” ucapnya.

Dosen Pendidikan dan Anti Korupsi Poltekes Lampung ini melanjutkan, pengawasan internal penguatan aparat seperti Inspektorat secara struktural dinilai semakin mendesak. Bukan hanya agar aparatur pengawas memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yang terjadi, tetapi juga revitalisasi posisi pengawas internal yang selama ini tersandera di bawah kepala daerah.

“Sehingga diharapkan pemerintah diminta segera membuat regulasi baru mengenai struktur pengawas internal agar tidak dikendalikan oleh kepala daerah,”ujarnya.

"Sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah kemudian dapat melakukan pengawasan terhadap atasannya tersebut, apalagi hingga penjatuhan sanksi," tambah Ginda.

Masih kata Ginda, Inspektorat yang lebih independen diharapkan dapat memetakan siapa saja pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah. Kemudian melakukan kajian sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu.

“Hal ini tentunya butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini,” tandasnya. (*)

Editor :

Berita Lainnya

-->