• Senin, 18 November 2024

Begini Komentar Ahli Fisika Soal Gerhana Bulan Total

Jumat, 27 Juli 2018 - 18.47 WIB
72

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pakar fisika Teori Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr rer nat Bintoro Anang Subagyo menyebut gerhana bulan total yang terjadi di Indonesia pada Sabtu, (28/07/2018) merupakan fase totalitas terlama sepanjang abad terakhir.

Pria yang akrab disapa Bintoro ini mengatakan, fase totalitas gerhana bulan kali ini akan berlangsung selama 103 menit.

Diperkirakan, fase penumbra akan mulai terlihat pada 00.14 dini hari. Gerhana sebagian akan nampak sejak 01.24, sedangkan gerhana total mulai terlihat pada 02.30 dan akan berakhir setelah waktu salat subuh.

BACA: Kiki Challenge Berbahaya, Polisi Akan Tilang Pelaku

BACA: Kala Dinasti Politik Zulkifli Hasan Tersandung KPK

"Gerhana ini sebenarnya akan berakhir pada 06.28, tetapi sudah tidak dapat diamati karena posisi bulan sudah tenggelam," tambahnya di Surabaya, Jumat (27/07/2108).

Berdasarkan siklus, gerhana bulan dengan fase totalitas terlama akan kembali terjadi pada 9 Juni 2123 dengan durasi 106 menit. Hal ini serupa dengan Super Blue Blood Moon pada Januari lalu, yang akan kembali terulang 100 tahun kemudian.

"Ini merupakan kali kedua fenomena gerhana bulan langka yang mampu diamati di Indonesia," ujarnya.

Ia menjelaskan, durasi waktu yang cukup panjang ini dikarenakan lintasan bulan pada saat itu hampir mendekati garis tengah lingkaran bayangan gelap (umbra) bumi, sehingga bulan akan berada dalam bayangan tersebut dalam waktu yang relatif lebih lama.

Fenomena aphelion, yaitu bumi berada pada titik terjauh dari matahari yang terjadi bulan Juli ini juga diduga menjadi penyebabnya.

"Saat puncak gerhana itu berlangsung, jarak bumi-matahari lebih dekat sekitar 184 ribu km daripada saat aphelion, atau menjadi sejauh 151,8 juta km," tutur Bintoro.

Layaknya gerhana bulan pada umumnya, gerhana dini hari nanti dapat disaksikan dengan mata telanjang. "Tidak perlu menggunakan kaca mata seperti saat gerhana matahari," ucapnya.

Dengan demikian, ia berharap masyarakat di Indonesia, terutama di Surabaya tidak melewatkan fenomena alam langka ini.

Menurutnya meskipun Surabaya tidak termasuk dalam daftar 20 titik pantau yang diumumkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca di Surabaya saat ini cukup mendukung untuk melakukan pengamatan sendiri.

BACA: Bupati Lampung Utara Dorong PWI Gelar UKW dan Pelatihan Jurnalistik

BACA: Korban Kebakaran Ceritakan Kejadian, Wabup Lamteng Beri Bantuan

Didukung peralatan yang tersedia, Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam Departemen Fisika ITS juga akan melakukan pengamatan di lantai 4 gedung F Departemen Fisika ITS.

Ia menilai, alat yang dimiliki laboratoriumnya sudah cukup mumpuni untuk menghasilkan dokumentasi terbaik. "Saya harap dengan pengamatan yang nantinya dilakukan, ITS dapat memiliki video atau gambar atas fenomena sekali se-abad ini," ucap Bintoro. (*)

Sumber: Antara

Editor :